ANALISIS TRANSAKSIONAL (ERIC BERNE)
A. Konsep Dasar Pandangan Analisis Transaksional Tentang
Kepribadian
Analisis
Transaksional (AT) dikembangkan oleh Eric Berne pada pertengahan 1950an. Teori
ini percaya bahwa ketiga ego state adalah
wujud dalam diri setiap individu. Psikoanalisis melihat struktur ego, superego,
dan id sebagai konsep hipotetikal (Nordin, 2008). Menurut Eric Berne bahwa
sumber-sumber tingkah laku, sikap dan perasaan sebagaimana individu melihat
kenyataan, mengolah informasi dan melihat dunia diluar dirinya disebut dengan
status ego. Istilah status ego yang dikemukakan oleh Berne berbeda dari teori
freud ( id, ego dan super ego ) karena bukan merupakan konstruk, akan tetapi
sesuatu yang bisa diamati dengan indra yang merupakan kenyataan fenomenologis
(dengan melihat gejala-gejala yang nampak). Teori Analisis Transaksional
bermula dari keluarga (parent, adult,
dan child) maka analisis ini
menyediakan berbagai teknik untuk konseling keluarga (Nordin,
2008).
Dalam
eksprerimen yang dilakukan Berne, ia mencoba meneliti dan menjelaskan bagaimana
status ego anak, orang dewasa dan orang tua, dalam interaksi satu sama lain,
serta bagaimana gejala hubungan interpersonal ini muncul dalam berbagai bidang
kehidupan seperti misalnya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam sekolah, dan
sebagainya. Dari eksperimen ini Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari
banyak ditentukan oleh bagaimana ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang
tua) saling berinteraksi dan hubungan transaksional antara ketiga status ego
itu dapat mendorong pertumbuhan diri seseorang, tetapi juga dapat merupakan
sumber-sumber gangguan psikologis.
Percobaan
Eric Berne ini dilakukan hampir 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan hasil
percobaannya itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional dalam
Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia
menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan Principles of
Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R.
Grinkers. Dalam teorinya, individu mengalami 3 status ego dalam hidupnya,
yakni: kanak-kanak, dewasa dan orang tua.
a. Status ego anak
Status ego anak terlihat dalam
perilakunya dan cara berfikirnya ketika masih kanak-kanak dan berkembang dengan
pengalaman semasa kanak-kanak. Dapat dilihat dalam perilakunya seperti manja,
ingin menang sendiri, ingin diperhatikan, takut, pemberani, sembrono, bebas dan
acuh. Pernyataan
ego dengan ciri kepribadian anak-anak seperti bersifat manja, riang, lincah dan
rewel. Tiga bagian dari ego state child ini ialah:
·
Adapted child
(kekanak-kanakan)
Unsure ini kurang baik ditampilkan saat
komunikasi karena banyak orang tidak menyukai dan hal ini menujukkan ketidak
matangan dalam sentuhan.
·
Natural child
(anak yang alamiah)
Natural child ini banyak disenangi oleh
orang lain karena sifatnya yang alamiah dan tidak dibuat-buat serta tidak
berpura-pura, dan kebanyakan orang senang pada saat terjadinya transaksi.
·
Little professor
Unsur ini ditampilkan oleh seseorang
untuk membuat suasana riang gembira dan menyenangkan padahal apapun yang
dilakukannya itu tidaklah menunjukkan kebenaran.
b.
Status
ego dewasa
Status ego ini dapat dilihat dari
tingkah lakunya yang bertanggung jawab, mandiri dan rasional. Sifat dari status
ego ini adalah objektif, penuh perhitungan dan masuk akal.
c.
Status
ego orang tua
Merupakan suatu kumpulan pola,
sikap, perasaan dan tingkah laku yang mirip dengan bagaimana orang tua,
individu merasa dan bertigkah laku terhadap dirinya. Status ego orang tua
ini terbagi dua yaitu:
·
Critical parent
Bagian ini dinilai
sebagai bagian kepriadian yang kurang baik, seperti menujukkan sifat judes,
cerewet, dll.
·
Nurturing parent
Penampilan ego state
seperti ini baik seperti merawat dan lain sebagianya.
Dari penjabaran diatas mengenai status ego individu, dapat
diketahui bagaimana orang atau individu dikatakan bermasalah atau tidak. Dalam
individu batas antara status ego yang satu dengan yang lainnya sangatlah tipis,
sehingga dimungkinkan terjadi percampuran ego yang satu ke yang lainnya. Dalam
hal ini yang mengakibatkan individu dapat dikatakan bermasalah yakni :
1. Eklusi
Eklusi berarti bahwa individu
terkurung dalam salah satu status ego tertentu, akibatnya akan menghambat
berfungsinya status ego yang lain. Contoh, orang yang mengeklusikan dirinya
dalam status ego orang tua, orang tersebut akan bertingkah laku terhadap orang
lain layaknya seperti anak dengan perilakunya yang memberi kasih sayang,
mencela, ikut campur urusan orang lain dan sering menasehati. Eklusi pada anak
yang menyesuaikan diri yakni bertingkah laku sopan, patuh dan penurut. Anak
yang wajar akan bersikap kreatif, agresif, tergantung, spontan dan penuntut.
2. Kontaminasi
Selain eklusi ada satu masalah
fungsional yang sering dialami individu yakni kontaminasi yaitu dimana
bercampurnya status ego yang satu dengan yang lainnya sehingga mengalami
pencemaran.
B. Unsur-unsur Terapi
a. Tujuan Terapi
Tujuan utama dari AT adalah
membantu klien dalam membuat keputusan-keputusan baru yang berhubungan tingkah lakunya
saat ini dan arah hidupnya. Sedangkan sasarannya adalah mendorong klien agar
menyadari, bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh ketusan
awal mengenai posisi hidupnya serta pilihan terhadap cara-cara hidup yang tetap
dan deterministik (bertujuan). Menurut Berne dalam Corey (1996) bahwa tujuan
dari AT adalah pencapaian otonom yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga
karakteristik; kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Penekanan terapi adalah
menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh permainan yang manipulatif dan oleh
skenario-skenario hidup yang menyalahkan diri dan gaya hidup otonom ditandai
dengan kesadaran spontanitas dan keakraban. Menurut Haris yang dikutip dalam
Corey (1996) tujuan pemberian treatment
adalah menyembuhkan gejala yang timbul dan metode treatment adalah membebaskan ego orang dewasa sehingga bisa
mengalami kebebasan memilih dan penciptaan pilihan-pilihan baru atas pengaruh
masa lampau yang membatasi. Tujuan terapeutik, dicapai dengan mengajarkan
kepada klien dasar-dasar ego orang tua, ego orang dewasa, dan ego anak. Para
klien dalam setting kelompok itu belajar bagaimana menyadari dan menjabarkan
ketiga ego selama ego-ego tersebut muncul dalam transaksi-transaksi kelompok.
b. Fungsi dan Peran Terapis
Terapis membantu klien dalam menemukan
kondisi-kondisi masa lampau yang merugikan yang menyebabkan klien membuat
putusan-putusan dini tertentu, memungut rencana-rencana hidup, dan
mengembangkan strategi-strategi yang telah digunakannya dalam menghadapi orang
lain yang sekarang barangkali ingin dipertimbangkannya. Terapis membantu klien
memperoleh kesadaran yang lebih realitas dan mencari alternatif-alternatif guna
menjalani kehidupan yang lebih otonom.
Tugas terapis adalah menggunakan pengetahuannya
untuk menunjang klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang
jelas yang diprakarsai oelh klien. Serta membantu agar klien memperoleh
perangkat yang diperlukan bagi perubahan. Terapis mendorong dan mengajari klien
agar lebih mempercayai ego orang dewasanya sendiri ketimbang ego orang
dewasa terapis dalam memeriksa putusan-putusan lamanya dan dalam membuat
putusan-putusan baru.
C. Teknik-teknik
Terapi Analisis Transaksional
Dalam
AT konseling diarahkan kepada bagaimana klien bertransaksi dengan lingkungannya.
Karena itu, dalam melakukan konseling ini, konselor
memfokuskan perhatian terhadap apa yang dikatakan klien kepada orang lain dan
apa yang dikatakan orang lain kepada klien. Untuk itu, teknik yang sering
digunakan dalam AT diantaranya adalah analisis struktur, analisis
transaksional, analisis mainan dan analisis skript,.
1.
Analisis Struktur
Analisis
struktur maksudnya adalah analisis terhadap status ego yang menjadi dasar
struktur kepribadian klien yang terlihat dari respons atau stimulus klien dengan orang
lain
2.
Analisis transaksional
Konselor
menganalisis pola transaksi dalam kelompok, sehingga konselor dapat mengetahui
ego state yang mana yang lebih dominan dan apakah ego state yang ditampilkan
tersebut sudah tepat atau belum.
3.
Analisis Mainan
Analisis mainan
adalah analisis hubungan transaksi yang terselubung antara Klien dengan
konselor atau dengan Lingkungannya. Konselor menganalisis suasana permainan
yang diikuti oleh klien untuk mendapat sentuhan, setelah itu dilihat apakah klien mampu menanggung
resiko atau malah bergerak kearah resiko yang tingkatnya lebih rendah.
4.
Analisis Skript
Analisis Skript
ini merupakan usaha konselor untuk mengenal proses
terbentuknya skript yang dimiliki klien. Analisis skript ini hendaknya sampai
menyelidiki transaksi seseorang sejak dalam asuhan orang tua, pada masa ini
terjadi transaksi antara orang tua dengan anak-anaknya. Dan pada akhirnya
terbentuk suatu tujuan hidup dan rencana hidup (script atau naskah). Hal ini
dilakukan apabila konselor sudah meyakini bahwasanya kliennya terjangkit posisi
hidup yang tidak sehat.
Prosedur
pada AT dikombinasikan dengan terapi Gestalt, seperti yang dikemukakan oleh
James dan Jongeward dalam Corey (1996) dia menggabungkan konsep dan prosedur AT
dengan eksperimen Gestalt, dengan kombinasi tersebut hasil yang diperoleh dapat
lebih efektif untuk mencapai kesadaran diri dan otonom. Sedangkan teknik-teknik
yang dapat dipilih dan diterapkan dalam AT yaitu, sebagai berikut:
1. Analisis Struktural.
Adalah suatu cara yang dapat menjadikan
individu sadar tentang isi dan fungsi dari status egonya. Didalam analisis
transaksional klien belajar bagaimana mengidentifikasikan status egonya. Para
klien akan belajar bagaimana mengenali ketiga perwakilan ego-nya, ini dapat
membantu klien untuk mengubah pola-pola yang dirasakan dapat menghambat dan
membantu klien untuk menemukan perwakilan ego yang dianggap sebagai landasan
tingkah lakunya, sehingga dapat melihat pilihan-pilihan.
2. Metode-metode Didaktik.
Analisis transaksional berdasarkan
pada aspek kognitif, maka dalam hal ini metode didaktik merupakan dasar bagi
pendekatan terapi ini. Anggota kelompok pada terapi ini diharapkan mampu untuk
kenal dengan analisis struktural dan memahami peran ego masing-masing.
3. Analisis Transaksional
Adalah penjabaran dari yang
dilakukan orang-orang terhadap satu sama lain, sesuatu yang terjadi diantara
orang-orang melibatkan suatu transaksi diantara perwakilan ego mereka, dimana
saat pesan disampaikan diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi yaitu;
komplementer, menyilang, dan terselubung.
4. Permainan Peran (Role Playing)
Prosedur-prosedur AT dikombinasikan
dengan teknik psikodrama dan permainan peran. Dalam terapi kelompok, situasi
permainan peran dapat melibatkan para anggota lain. Seseorang anggota kelompok
memainkan peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota
lainnya, kemudian dia berbicara pada anggota tersebut. Bentuk permainan yang
lain adalah permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari ego orang tua yang
konstan.
5. Analisis Upacara, Hiburan, dan
Permainan
AT meliputi pengenalan terhadap
upacara (ritual), hiburan, dan permainan yang digunakan dalam menyusun
waktunya. Penyusunan waktu adalah bahan penting bagi diskusi dan pemeriksaan
karena merefleksikan keputusan tentang bagaimana menjalankan transaksi dengan
orang lain dan memperoleh perhatian.
6. Analisa Skenario
Adalah kekurangan otonomi
berhubungan dengan keterikatan individu pada skenario atau rencana hidup yang
ditetapkan pada usia dini sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya di dunia
sebagaimana terlihat dari titik yang menguntungkan menurut posisi hidupnya.
Skenario kehidupan, yang didasarkan pada serangkaian keputusan dan adaptasi
sangat mirip dengan pementsan sandiwara.
7. Kursi Kosong (Emphty Chair).
Prosedur kursi kosong dalam terapi
ini, merupakan cara yang sangat baik dalam analisis struktural. Cara ini
mengasumsikan bahwa klien mempunyai kesulitan dalam mengatasi dirinya dan
pimpinannya. Klien disuruh membayangkan bahwa orang yang duduk didepannya adalah
orang lain, dan kemudian diajak untuk berdialog. Prosedur ini memberikan
kebebasan pada klien untuk mengekspresikan pikiran, perasaan dan sikapnya
sebagaimana dirinya berperan pada status ego tertentu. Mc Neel menggambarkan
bahwa teknik dua kursi yang kosong ini merupakan alat yang sangat efektif dalam
membantu klien menyelesaikan konfliknya dengan orang tua atau orang lain yang
ada disekitarnya pada waktu klien dibesarkan. Tujuan dari teknik ini adalah
untuk menyempurnakan unfinished bussines
pada masa yang silam.
8. Familiy
Modelling.
Dalam teknik ini, klien diminta
untuk membayangkan yang melibatkan banyak individu, mungkin yang berhubungan
dengan pengalaman masa lalu atau dirinya. Klien menetapkan situasi dan
menggunakan anggota lain dari kelompoknya sebagai anggota keluarga. Kemudian
dari analisis didiskusikan dan dievaluasi dengan kesadaran yang penuh.
9. Analysis
of Ritual and Past time.
Didalam analisis transaksional akan
terlibat masalah identifikasi mengenai tata cara dan pengisi waktu yang tampaknya
dapat digunakan dalam menstruktur waktu. Struktur waktu ini sangat penting
didiskusikan dan diperiksa, karena hal ini merefleksikan bagaimana individu
memutuskan naskahnya dalam kaitannya bagaimana individu tersebut melakukan
transaksi dan bagaimana untuk mendapatkan belaian yang tidak menguntungkan dan
akibatnya akan mengalami keakraban dengan orang lain.
10. Analysis
of Game and Rackets.
Analisis permainan merupakan aspek
yang penting dalam mengetahui transaksi yang sebenarnya dengan orang lain.
Didalam hal ini perlu di observasi dan diketahui bagaimana permainan dimainkan
dan belaian apa yang diterima, bagaimana keadaan permainan itu apakah ada jarak
dan apa diringi dengan keakraban.
RATIONAL
EMOTIVE THERAPY (ALBERT ELLIS)
Terapi Rasional Emotif diperkenalkan pertama kalinya oleh
seorang klinisi yang bernama Albert Ellis pada tahun 1955. Pada Awalnya Ellis
merupakan seorang psikoanalisis, tetapi kemudian ia merasakan bahwa
psikoanalisis tidak efesien. Ia juga seorang ahli terapi yang sangat
bersebrangan dengan penganut humanistis. Rasional Emotif menolak keras
pandangan psikoanalisis yang mengatakan bahwa pengalaman masa lalu adalah penyebab
gangguan emosional individu. Menurut Ellis (dalam Lubis, 2011) penyebab
gangguan emosional adalah karena pikiran irasional individu dalam menyikapi
pristiwa atau pengalaman yang dilaluinya. Terapi Rasional Emotif dalam
perkembangannya memiliki banyak nama, antara lain: Rational Therapy, Semantic Therapy, Cognitive Behavior Therapy, dan
Rational Behavior Trainning. Dalam teori konseling, Terapi Rasional Emotif
termasuk dalam kategori terapi cognitive
behavior (Latipun dalam Lubis, 2011). Selanjutnya, Corey (2009) mengatakan
Terapi Rasional Emotif termasuk dalam kategori terapi cognitive behavior karena Rasional Emotif lebih menitikberatkan
pada proses berpikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak.
Rasional Emotif didaktif dan direktif serta lebih banyak berhubungan dengan
dimensi pikiran daripada perasaan.
Menurut pandangan Ellis (dalam Lubis, 2011) Rasional Emotif
merupakan teori komprehensif karena menangani masalah- masalah yang berhubungan
dengan individu secara keseluruhan yang mencangkup aspek emosi, kognisi, dan
perilaku. Dalam Rasional Emotif masalah yang dimiliki klien antara lain:
kecemasan pada tingkat moderat, gangguan neurosis, gangguan karakter, masalah
psikosomatik, gangguan makan, ketidakmampuan menjalin hubungan interpersonal,
masalah perkawinan, adiksi, dan disfungsi seksual. Individu yang tidak dapat
ditangani Rasional Emotif adalah anak-anak (khususnya autisme), gangguan mental
tingkat bawah, schizhophrenia jenis
katatonik (gangguan penarikan diri berat), dan maniak atau mania-depresif
(Lubis, 2011).
A.
Dinamika Kepribadian Manusia
Rasional Emotif pada hakikatnya memandang manusia dilahirkan
dengan potensi baik dan buruk. Manusia memiliki kemampuan berfikir rasional dan
irasional. Selain itu manusia juga dapat memiliki kecenderungan mempertahankan
perilaku yang destruktif dan melakukan berbagai cara agar tidak terlibat dengan
orang lain. Corey (2009) menegaskan bahwa manusia memiliki potensi yang luar
biasa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya serta dapat mengubah
diri dan lingkungannya. Perilaku manusia di dorong oleh kebutuhan, hasrat,
tuntutan, keinginan yang ada di dalam dirinya. Bila hal tersebut tidak tercapai
manusia cenderung akan mempersalahkan dirinya dan orang lain. Pandangan Ellis
(dalam Lubis, 2011) terhadap konsep manusia adalah sebagai berikut:
1. Manusia mengadaptasikan dirinya
terhadap perasaan yang menggangu pribadinya.
2. Kecenderungan biologisnya sama
dengan kecenderungan kultural yang berpikir salah dan tidak ada gunanya, hanya
akan mengecewakan diri sendiri.
3. Memiliki kemampuan untuk memilih
reaksi yang berbeda dengan yang biasanya ia lakukan.
4. Menolak mengecewakan diri sendiri
terhadap hal-hal yang akan terjadi.
5.
Melatih
diri sendiri agar mempertahankan diri dari gangguan.
Selanjutnya Ellis (dalam Lubis, 2011) juga mengatakan bahwa
peristiwa yang terjadi pada individu akan direaksi sesuai dengan cara berpikir
atau sistem kepercayaannya. Jadi konsekuensi reaksi yang dimunculkan seperti
senang, sedih, frustasi dan sebagainya bukanlah akibat peristiwa yang dialami
individu melainkan disebabkan karena cara berpikirnya.
Menurut Latipun (dalam Lubis, 2011) ada tiga istilah yang
terkait dengan tingkah laku manusia berdasarkan pandangan Rasional Emotif,
yaitu: Antecedent Event (A), Belief (B), dan emotional consequence (C). Istilah ini lebih dikenal dengan konsep
A-B-C. Berikut adalah penjelasannya.
a.
Antecedent Event (A)
Adalah
peristiwa, fakta, perilaku, atau sikap orang lain yang terjadi di dalam maupun
luar diri individu. Misalnya, perceraian orang tua dan kelulusan ujian bagi
siswa.
b.
Belief (B)
Adalah
keyakinan dan nilai individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan atas dua
bagian yaitu: pertama, keyakinan rasional (rB) yang merupakan keyakinan yang
tepat, masuk akal, dan produktif. Kedua, keyakinan irasional (iB) yang
merupakan keyakinan yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan tidak
produktif. Keyakinan dapat berasal dari nilai agama, norma masyarakat, dan
aturan orang tua.
c.
Emotional Consequence (C)
Adalah
konsekuensi emosional baik berupa senang ataupun hambatan emosi yang diterima
individu sebagai akibat reaksi dalam hubungannya dengan (A). Konsekuensi emotional ini bukanlah akibat langsung
dari A, tetapi juga B baik dipengaruhi oleh iB maupuan rB individu. Misalnya,
sedih, marah, bahagia, dan bangga.
Setiap individu akan memiliki reaksi
yang berbeda walau menghadapi keadaan atau situasi yang sama. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh keyakinan (B) yang dimilikinya, baik keyakinan rasional (rB)
maupun keyakinan irasional (iB). Reaksi yang berbeda tentu saja akan melahirkan
konsekuensi emosional yang berbeda pula. Dua orang individu yang memiliki
keyakinan yang berbeda akan menyikapi peristiwa tertentu secara berbeda pula.
Individu yang memiliki keyakinan rasional cenderung bereaksi secara normal dan
wajar, sementara individu yang memiliki keyakinan irasional akan cenderung
bereaksi secara spontan dan tidak wajar (Lubis, 2011).
Ellis (dalam Corey, 2009) juga
menambahkan bahwa setelah konsep A-B-C, maka menyusul desputing (D) yang merupakan penerapan metode ilmiah untuk membantu
klien menantang keyakinan irasionalnya. Desputing(D)
merupakan implementasi dari proses terapi yang dijalankan oleh terapis dan
klien melalui proses belajar mengajar (edukatif), dimana terapis menunjukkan
berbagai prinsip logika dan dapat diuji kebenarannya untuk menyanggah keyakinan
irasional klien. Ia menyatakan bahwa manusia yang memiliki kemapuan untuk
berpikir seyogianya mampu melatih dirinya untuk mengubah atau menghapus pola
keyakinan yang irasional dalam dirinya.
B.
Peran dan Fungsi Terapis
Menurut Lubis (2011) terapis dalam
terapi Rasional Emotif harus meminimalkan hubungan yang intens tetapi tetap
menunjukkan penerimaan diri yang positif terhadap klien. Terapis harus
mendengarkan pernyataan klien dengan sungguh-sungguh dan menunjukkan empatinya.
Mereka perlu memahami keadaan klien sehingga memungkinkan untuk mengubah cara
berpikir klien yang tidak rasional. Mengubah keyakinan yang telah mengakar
dalam diri klien bukanlah sesuatu yang mudah. Tugas utama seorang terapis
adalah mengajari klien cara memahami dan mengubah diri sehingga terapis disini
harus bertindak aktif dan direktif.
Lesmana (dalam Lubis, 2011)
menyebutkan ciri-ciri khusus yang seharusnya menjadi syarat seorang terapis
Rasional Emotif, yaitu: pintar, berwawasan luas, empati, peduli, konkret,
gigih, ilmiah, berminat membantu orang lain dan menggunakan teori Rasional
Emotif dalam kehidupannya. Terapi Rasional Emotif adalah sebuah proses edukatif
karena salah satu tugas terapis adalah mengajarkan dan membenarkan perilaku
klien melalui pengubahan cara berpikir (kognisi) nya. Konselor bertindak
sebagai pendidik yang antara lain memberi tugas pada klien serta mengajarkan
strategi untuk memperkuat proses berpikirnya. Dalam menjalankan fungsinya
tersebut, Ellis (dalam Corey, 2009) memberikan gambaran tentang tugas terapis,
yaitu:
1. Mengajak klien untuk berpikir
tentang bentuk-bentuk keyakinan irasional yang memengaruhi tingkah laku.
2. Menantang klien untuk menguji
gagasan-gagasan irasionalnya.
3. Menunjuk ketidaklogisan cara
berpikir klien.
4. Menggunakan analisis logika untuk
meminimalkan keyakinan irasional klien.
5. Menunjukkan pada klien bahwa
keyakinan irasionalnya adalah penyebab gangguan emosional dan tingkah laku.
6. Menggunakan absurditas dan humor
untuk menghadapi keyakinan irasional klien.
7. Menerangkan pada klien bahwa
keyakinannya dapat diubah menjadi rasional dan memiliki landasan empiris.
8. Mengajarkan pada klien bagaimana
menerapkan pendekatan ilmiah yang membantunya agar dapat berpikir secara
rasional dan meminimalkan keyakinan yang irasional.
C.
Tujuan Terapi Rasional Emotif
Secara umum, pandangan Rasional
Emotif memfokuskan diri pada cara berpikir manusia. Hal inilah yang dijadikan
acuan bagi terapis untuk mengubah tingkah lakunya. Tujuan utama yang dicapai
dalam Rasional Emotif adalah memperbaiki dan mengubah sikap individu dengan
cara mengubah cara berpikir dan keyakinan klien yang irasional menuju cara
berpikir yang rasional, sehingga klien dapat meningkatkan kualitas diri dan
kebahagian hidupnya (Lubis, 2011).
Ellis (dalam Lubis, 2011)
menambhakan kembali formula A-B-C menjadi A-B-C-D-E yaitu antecedent, belief, emotional consequence, desputing, dan effect. Efek adalah keadaan psikologis
yang diharapkan terjadi pada klien setelah menjalani terapi Rasional Emotif.
Melalui terapi, klien diarahkan dapat memiliki dimensi psikologis yang utuh dan
sehat, dapat mengarahkan dirinya ke arah yang positif, berpikir fleksibel, dan
ilmiah serta dapat menerima keadaan dirinya secara keseluruhan.Willis (dalam
Lubis, 2011) mengatakan bahwa tujuan dari terapi Rasional Emotif adalah untuk
menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri (seperti benci, rasa
bersalah, cemas, dan marah) serta melatih dan mendidik klien agar dapat
menghadapi kenyataan hidup secara rasional.
Ellis (dalam Lubis, 2011) mengatakan
bahwa Rasional Emotif tidak hanya diarahkan untuk menghilangkan gejala
(simtom), akan tetapi juga membantu klien untuk mengetahui dan merubah beberapa
nilai dasar keyakinan klien terutama yang menimbulkan gangguan. Sebagai contoh,
klien menghadapi masalah takut melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis.
Dalam hal ini peran terapis bukan hanya melakukan pengurangan rasa takut klien
melainkan melakukan penanganan atas rasa takut menjalin hubungan secara umum.
Jadi, peran fungsi terapis dalam Rasional Emotif adalah membebaskan klien dari
gejala yang disampaikan atau tidak disampaikan secara jelas kepada terapis.
D.
Teknik Terapi Rasional Emotif
Menurut Corey (2009) pada dasarnya,
terapi Rasional Emotif tidak membatasi diri pada satu jenis teori tunggal.
Terapis dibebaskan untuk menggunakan lebih dari satu teori (pendekatan
eklektik). Hal ini berdasarkan anggapan bahwa klien dapat mengalami perubahan
melalui berbagai macam cara seperti belajar dari pengalaman sendiri, orang
lain, menonton film, berpikir dan meditasi.
Teknik Rasional Emotif yang paling
utama adalah mengajar secara aktif-direktif. Lebih dari itu, Rasional Emotif
juga menekankan proses deduktif yang mengacu pada aspek kognitif. Dalam keadaan
ini, terapis lebih terlihat bertindak sebagai guru dibandingkan fasilitator
bagi klien (Lubis, 2011).
Menurut Ellis (dalam Corey, 2009)
terapis dapat menerapkan metode terapi tingkah laku seperti:
1.
Pelaksanaan
pekerjaan rumah.
2. Desentisasi Sistematis.
3. Pengkondisian Operan.
4. Hipnoterapi.
5. Latihan Asertif.
Selain itu, Willis (dalam Lubis, 2011) menyebutkan beberapa
teknik Rasional Emotif lainnya antara lain:
1.
Sosiodarma,
yaitu sandiwara singkat yang menjelaskan masalah-masalah di kehidupan sosial.
2. Pencontohan (modelling).
3. Teknik reinforcement.
4. Relaxation.
5. Self-control, yaitu klien diajarkan cara-cara
mengendalikan diri dan menahan emosi.
6. Diskusi.
7. Simulasi, yaitu melalui berperan
antara konselor dan klien.
8. Bibliografi, yaitu dengan memberikan
bahan bacaan tentang orang-orang yang mengalami masalah yang hampir sama dengan
klien dan akhirnya dapat mengatasi masalahnya. Atau bahan bacaan yang dapat
meningkatkan cara berpikirnya klien agar lebih rasional.
Dalam terapi, terapis Rasional Emotif menggunakan
teknik-teknik yang lebih direktif dalam menghadapi klien seperti konfrontasi,
pembantahan, deindoktrinasi, dan reedukasi. Ellis (dalam Lubis, 2011)
menjelaskan bahwa teknik-teknik yang bervariasi tersebut dimanfaatkan untuk
membantu klien mencapai suatu perubahan kognitif yang mendasar.
Behavior Therapy
Behavior Therapy atau yang disebut dengan terapi
perilaku adalah jenis terapi yang populer dan sudah sering kita dengar. Terapi
ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap psikoanalisa. Behavior Therapy memiliki konsep yang
sangat berbeda dan berlawanan dengan terapi psikoanalisa. Arnold A. Lazarus
adalah orang yang berkontribusi dalam behavioral
therapy. Lazarus adalah anak terakhir dari empat bersaudara, ia lahir di
Johannesburg, Afrika Selatan. Ketika ia lahir, kakak perempuannya berusia 17
dan 14 tahun, sedangkan kakak laki-lakinya berusia 9 tahun. Lazarus hidup di
lingkungan tetangga yang hanya ada sedikit anak-anak, dia ingat dulu sering
merasa kesepian dan ketakutan. Awalnya ia mengambil kuliah jurusan sastra
inggris, tetapi karena dosennya tidak menarik dan membosankan maka ia
memutuskan untuk pindah ke jurusan psikologi dan sosiologi, yang materinya
menarik minat dan rasa ingin tahunya. Selain itu, dosen-dosennya membuat
Lazarus menjadi terinspirasi. Akhirnya tahun 1957 ia mendapatkan gelar master
dalam psikologi eksperimental dan tahun 1960 mendapatkan gelar Ph.D dalam
psikologi klinis. Behavior therapy lebih
menekankan kepada metode action-oriented untuk
membantu orang-orang mengubah perilaku dan pikiran mereka (Glass dan Arnkoff
dalam Corey, 1996). Tokoh-tokoh klasik yang juga berperan penting dalam behavioral therapy adalah B. F Skinner,
J.B Watson, Albert Bandura, dan lain-lain. Pendekatan behavioral muncul sejak tahun 1950 dan awal 1960 sebagai konsep
radikal yang bertentangan dengan perspektif psikoanalisa yang dominan. Behavior therapy dapat dipahami dengan
mempertimbangkan tiga area perkembangan, yaitu classical conditioning, operant conditioning dan cognitive therapy (Corey, 1996).
A. Dinamika
Kepribadian Manusia
Menurut
pendekatan behavioristik, manusia dapat memiliki kecenderungan positif atau
negatif karena pada dasarnya kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan di
mana ia berada. Perilaku dalam pandangan behavioristik adalah bentuk dari
kepribadian manusia. Perilaku dihasilkan dari pengalaman yang diperoleh
individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Perilaku yang baik adalah hasil
dari lingkungan yang baik, begitu juga sebaliknya. Jadi, manusia adalah produk
dari lingkungan. Pandangan behavioristik radikal memandang manusia pasif,
mekanistik, dan deterministik. Manusia merupakan "objek" yang dapat
diubah menurut keinginan orang yang ingin mengubahnya. Pandangan inilah yang
mendapat kritikan dari beberapa ahli. Selanjutnya, pandangan behavioristik yang
terbaru mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih perilaku
seseorang berdasarkan pemahamannya (Lubis, 2011).
Salah satu
ahli behavioristik yang sepakat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
menentukan perilakunya adalah Albert Bandura yang merupakan tokoh teori
sosial-belajar. Bandura (dalam Lubis, 2011) menolak keras pandangan yang
menyatakan bahwa manusia bersifat mekanistik dan deterministik, karena
menurutnya manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan dalam menghadapi
stimulus (rangsangan) dari lingkungan dan bukanlah subjek yang pasif. Adapun
pengubahan (modifikasi) perilaku dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
individu agar memiliki kemampuan melakukan tindakan dan tidak terpaku sebagai
individu yang hanya mampu memberi respons. Dustin dan George (dalam Lubis,
2011) mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai berikut:
1. Manusia bukanlah individu yang baik
atau jahat sehingga memiliki kemampuan untuk berperilaku baik atau jahat.
2.
Manusia
dapat mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.
3.
Manusia
dapat memperoleh perilaku yang baru.
4.
Perilaku
manusia dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Pandangan ini semakin menguatkan
bahwa manusia dapat memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah yang lebih
baik, apabila ia berada dalam situasi lingkungan yang mendorongnya untuk
menjadi individu yang baik. Adapun perilaku bermasalah dalam konsep
behavioristik adalah perilaku yang tidak sesuai/tepat dengan yang diharapkan
oleh lingkungan. Penetapan perilaku bermasalah mengacu pada perbedaannya dengan
perilaku normal yang menekankan aspek penyesuaian diri dengan lingkungan.
Perilaku yang salah ini dapat ditandai dengan munculnya konflik antara individu
dengan lingkungannya. Hal inilah yang mengakibatkan ketidakpuasan dan kesulitan
dalam diri individu.
B. Karakteristik
dan Asumsi Dasar
Spiegler dan Guevremont (dalam
Corey, 1996) mengemukakan 6 hal yang mengkarakterisasikan behavior therapy, yaitu:
1. Behavior
therapy didasarkan
pada prinsip dan prosedur penelitian ilmiah. Prinsip-prinsip pembelajaran
secara sistematis diterapkan untuk membantu orang-orang mengubah perilakunya
yang maladaptif. Hasilnya lebih didasarkan pada apa yang telah diobservasi
daripada keyakinan-keyakinan pribadi. Hal yang membedakan praktisi behavioral dengan yang lainnya adalah
spesifikasi yang sistematis dan dapat diukur. Mereka membuat tujuan dari treatment-nya secara konkret dan
objektif agar memungkinkan dilakukan pengulangan pada intervensi mereka. Metode
penelitian digunakan untuk mengevaluasi efektivitas dari prosedur pengukuran
dan treatment. Konsep dan prosedur behavioral dinyatakan secara eksplisit,
di tes secara empiris, dan diperbaiki secara terus-menerus.
2. Behavior
therapy berhadapan
dengan masalah klien saat ini dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terapis
berpendapat bahwa masalah klien dipengaruhi oleh kondisi sekarang. Mereka
kemudian menggunakan teknik behavioral untuk
mengubah faktor-faktor sekarang yang relevan yang mempengaruhi perilaku klien.
3. Dalam behavior therapy, klien diharapkan melakukan tindakan-tindakan
spesifik untuk menghadapi masalah mereka. Daripada berbicara secara sederhana
mengenai kondisi, mereka melakukan sesuatu yang membawa perubahan. Mereka
mengawasi perilaku klien selama dan diluar sesi terapi, kemampuan untuk belajar
dan praktik menyelesaikan masalah dan bermain peran terhadap perilaku baru.
Terapi ini adalah pendekatan yang mengarah pada tindakan.
4. Secara umum, behavior therapy sebisa mungkin membawa klien pada lingkungan yang
natural (yang sebenarnya). Pendekatan ini menekankan pada mengajari klien
kemampuan mengatur dirinya (self-management),
dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung jawab untuk menerima apa yang
mereka pelajari dalam terapi dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan rumah
menjadi bagian yang integral dalam behavioral
therapy.
5. Prosedur behavioral dibuat agar cocok dengan kebutuhan masing-masing klien
yang unik. Beberapa teknik terapi digunakan untuk mengatasi masalh klien.
6. Praktik terapi behavioral didasarkan pada hubungan partner yang kolaboratif antara
terapis dan klien. Pertama, selalu berusaha untuk memberikan informasi pada
klien tentang treatment yang akan
diajalani. Kedua, klien sering dilatih untuk mengawali, melakukan, dan mengevaluasi
treatment yang dijalaninya sesuai
bimbingan terapis.
C. Tujuan
Behavior Therapy
Menurut Latipun (dalam Lubis, 2011)
secara umum, tujuan dari terapi behavioristik adalah menciptakan suatu kondisi
baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga perilaku simtomatik dapat
dihilangkan. Sementara itu tujuan terapi behavioristik secara khusus adalah
mengubah tingkah laku adaptif dengan cara memperkuat tingkah laku yang
diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta menemukan
cara-cara bertingkah laku yang tepat.
Corey (1996) memiliki asumsi lain
bahwa tujuan umum dari behavior therapy adalah
membuat suatu kondisi baru untuk belajar, dengan asumsi bahwa belajar dapat
memperbaiki perilaku-perilaku yang bermasalah. Pada terapi ini ditekankan bahwa
klien memiliki peran yang aktif dalam memutuskan treatment mereka. Jadi klien diminta untuk menetapkan tujuan
spesifik mereka sendiri. Terapis membantu klien merumuskan tujuan-tujuan yang
spesifik, tidak ambigu, dan dapat diukur. Terapi ini meyakinkan bahwa hak-hak
klien dilindungi (Corey, 1996). Spiegler dan Guevremont (dalam Corey, 1996)
mengatakan bahwa hal ini mencakup tujuan yang spesifik dan perilaku yang
ditargetkan, yang secara empiris berdasarkan pada pengujian prosedur, treatment
yang singkat dan apa adanya, dan hubungan yang kolaboratif antara terapis
dengan klien. Tujuan dari terapi ini harus ditunjukkan dengan jelas, konkrit,
dapat diapahami, dan disetujui oleh klien dan konselor.
Menurut Comier dan Comier (dalam
Corey, 1996) pentingnya hubungan kolaboratif adalah sebagai berikut:
1. Terapis menjelaskan pentingnya dan
kegunaan dari menetapkan tujuan.
2. Klien mengemukakan perubahan positif
yang ia inginkan dari terapi tersebut.
3. Klien dan terapis menunjukkan apakah
tujuan-tujuan tersebut menimbulkan keinginan klien untuk merubah dirinya.
4. Bersama-sama mereka mengeksplor
apakah tujuan-tujuan tersebut realistik.
5. Mereka mendiskusikan adanya
kemungkinan untung dan rugi dari tujuan-tujuan yang ditetapkan tersebut.
6. Mereka membuat suatu keputusan mengenai:
melanjutkan mencari tujuan-tujuan, mempertimbangkan lagi tujuan klien, atau
mencari pengganti tujuan lainnya.
Oleh
karena itu, teknik behavioral tidak
mengancam akan berkurangnya kebebasan untuk memilih. Membebaskan orang-orang
dari perilaku yang mengganggu agar mereka dapat hidup sepenuhnya adalah
konsisten dengan nilai-nilai demokratis individu yang mampu menentukan
tujuannya sendiri secara bebas selama tujuan tersebut konsisten dengan
norma-norma masyarakat (Corey, 1996).
D. Fungsi
dan Peran Behavior Therapy
Menurut Corey (1996) terapis dalam behavioral therapy memegang peranan
aktif dan direktif dalam pelaksanaan proses terapi. Dalam hal ini terapis harus
mencari pemecahan masalah klien. Fungsi utama terapis adalah bertindak sebagai
guru, pengarah, penasihat, konsultan, pemberi dukungan, fasilitator, dan
mendiagnosis tingkah laku maladaptif klien dan mengubahnya menjadi tingkah laku
adaptif. Terapis pada behavior therapy
memperhatikan tanda-tanda apapun yang diberikan klien, dan mereka bersedia untuk
mengikuti prosedur terapi. Terapis menggunakan teknik seperti summarizing, reflection, klarifikasi,
dan pertanyaan terbuka. Goldfried dan Davidson (dalam Corey, 1996) mengatakan
bahwa, akan tetapi terdapat dua fungsi yang membedakan klinisi behavioral: mereka fokus pada hal-hal
spesifik, dan mereka secara sistematis berusaha untuk mendapatkan informasi
tentang situasi antecedents, dimensi
dari masalah-masalah perilaku, dan konsekuensi dari masalah.
Fungsi penting terapis lainnya
adalah sebagai role model bagi klien.
Bandura (dalam Corey, 1996) mengatakan kebanyakan belajar itu terjadi melalui
pengalaman langsung. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses fundamental yang
paling memungkinkan klien dapat mempelajari tingkah laku baru adalah melalui
proses imitasi. Terapis dijadikan model pribadi yang ingin ditiru oleh klien
karena cenderung memandang terapis
sebagai orang yang patut untuk diteladani. Klien sering kali meniru sikap,
nilai dan tingkah laku terapis. Untuk itulah, seorang terapis diharapkan menyadari
perannya yang begitu penting dalam terapi sehingga tidak memunculkan perilaku
yang tidak semstinya untuk ditiru.
E. Hubungan
antara Terapi dan Klien
Granvold dan Wodarski (dalam Corey,
1996) mengatakan bahwa hubungan terapi dalam konteks behavioral secara signifikan dapat berkontribusi dalam proses
mengubah tingkah laku. Corey (1996) mengatakan hubungan terapi yang baik dapat
meningkatkan kesempatan klien untuk menerima terapi. Tidak hanya dari kerjasama
klien dalam prosedur terapi, tetapi harapan positif klien mengenai efektifitas
terapi juga berkontribusi terhadap hasil yang sukses. Kemampuan dan ketrampilan
terapis behavior adalah salah satu
yang dapat mengkonseptualisasikan masalah perilaku.
Seperti yang sebelumya telah saya
jelaskan mengenai pendekatan humanistik, client
centered therapy, mereka menekankan dan mengutamakan keaslian hubungan
terapis dengan klien, artinya terapis bertindak apa adanya sebagai seorang
manusia (misal, mengutarakan dirinya marah ketika klien membuatnya
tersinggung). Kemudian terapi psikoanalisis, mereka menekankan hubungan transference. Berbeda dengan
terapi-terapi lainnya, behavior therapy
menurut Corey (1996) tidak terlalu menekankan peran hubungan dengan klien.
Faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keaslian, dan penerimaan juga butuh
dipertimbangkan, namun tidaklah cukup dalam membuat terjadinya perubahan
perilaku. Jadi dalam behavior therapy,
peran hubungan sebagai hal yang mendasari strategi terapi dalam membantu klien
berubah sesuai dengan arah yang ia harapkan. Lazarus (dalam Corey, 1996)
mengatakan bahwa tanpa adanya rasa saling menghargai antara klien dengan
terapisnya, maka akan sulit untuk mengembangkan rasa percaya dan melakukan
keterbukaan diri. Teknik dan ketrampilan klinis dibutuhkan untuk membangun hubungan
antara klien dan terapis.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka
jelas bahwa behavior therapy
menekankan terapis yang memiliki tingkat ketrampilan dan sensitivitas yang
tinggi serta kemampuan untuk membentuk hubungan kerja dengan klien. Corey
(1996) mengatakan bahwa dalam menerapkan teknik behavioral bergantung pada kombinasi tingkat ketrampilan dan rapport dengan klien. Terapis behavior
cenderung aktif, direktif, dan berfungsi sebagai pemecah masalah.
F. Teknik-Teknik
Behavior Therapy
Lesmana (dalam Lubis, 2011) membagi
teknik terapi behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku
umum dan teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Teknik-teknik Tingkah Laku Umum
Teknik
ini terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya adalah:
1. Skedul penguatan adalah suatu teknik
pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku yang baru selesai dipelajari
dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan terus-menerus sampai tingkah
laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah terbentuk, frekuensi
penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada saat-saat tertentu saja (tidak
setiap kali perilaku baru dilakukan). Istilah ini sering disebut sebagai
penguatan intermiten. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan tingkah laku baru
yang telah terbentuk. Misalnya, klien yang mengalami kesulitan membaca akan
diberikan pujian secara terus-menerus bila berhasil membaca. Tetapi setelah ia
dapat membaca, pemberian pujian harus dikurangi.
2. Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan
dengan mempelajari tingkah laku baru secara bertahap. Terapis dapat
membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian
mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
3. Ekstingsi adalah teknik terapi
berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang. Ini
didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu
apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya, seorang anak yang selalu
menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis akan bertindak tidak
memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan menggunakan cara yang sama
lagi untuk mendapatkan keinginannya.
b. Teknik-teknik Spesifik
Teknik-teknik
spesifik ini meliputi:
1. Desentisasi Sistematik
Adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini
diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan
kecemasan. Desentisasi sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien
diminta untuk menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai
titik di mana klien tidak merasa cemas. Selama relaksasi, klien diminta untuk
rileks secara fisik dan mental. Teknik ini cocok untuk menangani kasus fobia,
ketakutan menghadapi ujian, ketakutan secara umum, kecemasan neurotik,
impotensi, dan frigiditas seksual. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011)
menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami
kegagalan, yaitu:
a) Klien mengalami kesulitan dalam
relaksasi yang disebabkan karena komunikasi terapis dan klien yang tidak
efektif atau karena hambatan ekstrem yang dialami klien.
b) Tingkatan yang menyesatkan atau
tidak relevan, hal ini kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang
keliru.
c) Klien tidak mampu membayangkan.
2. Pelatihan Asertivitas
Teknik ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku
agresif, pasif, dan asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran (role playing). Teknik ini dapat
membantu klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri
di hadapan orang lain. Pelatihan asertif biasanya digunakan untuk kriteria
klien sebagai berikut:
a) Tidak mampu mengungkapkan kemarahan
atau perasaan tersinggung.
b) Menunjukkan kesopanan secara
berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
c) Memiliki kesulitan untuk mengatakan
tidak.
d) Mengalami kesulitan mengungkapkan
afeksi dan respons positif lainnya.
e) Merasa tidak memiliki hak untuk
memiliki perasaan dan pikiran sendiri.
Melalui teknik permainan peran,
terapis akan memperlihatkan bagaimana kelemahan klien dalam situasi nyata.
Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani menegaskan diri
di hadapan orang lain.
3. Time-Out
Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah
laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan dari reinforcement positif. Time-out akan lebih efektif bila
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit. Contoh kasus:
seorang anak yang senang memukul adiknya akan dimasukkan dalam kamar gelap
selama lima menit bila terlihat melakukan tindakan tersebut, karena takut akan
dimasukkan ke kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan tindakan
yang salah tersebut.
4. Implosion
dan Flooding
Teknik implosion
mengarahkan klien untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara
berulang-ulang, karena dilakukan terus-menerus sementara konsekuensi yang
menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan kecemasan klien akan tereduksi atau
terhapus. Menurut Stampfl (dalam Lubis, 2011). Terapi implosion adalah teknik yang menantang pasien untuk "menatap
mimpi-mimpi buruknya." Ia menambahkan bahwa teknik implosion sangat bagus digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang
berada di rumah sakit, klien neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu
menurut Corey (dalam Lubis, 2011) flooding
merupakan teknik di mana terjadi pemunculan stimulus yang menghasilkan
kecemasan secara berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement. Klien akan membayangkan situasi dan terapis berusaha
mempertahankan kecemasan klien tersebut. Flooding
bersifat lebih ringan karena situasi yang menimbulkan kecemasan tidak menyebabkan
konsekuensi yang parah.
Selain
teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey (dalam Lubis, 2011)
menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi behavioristik.
Diantaranya, adalah:
1. Reinforcement positif
Adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran
segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman,
persetujuan, pujian, bintang emas, medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian
reinforcement positif dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku
baru yang telah terbentuk.
2. Modelling
Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang
dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh
tingkah laku sang model. Dalam hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model
yang akan ditiru oleh klien .
3. Token
Economy
Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan penguatan
lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini
menekankan penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya
kepingan logam) yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa
yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk
mencapai sesuatu. Misalnya, pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu
rumahnya, ia akan diberi satu logam. Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak
tersebut akan dibelikan sepeda.
Daftar
Pustaka